Gapki nilai rencana keanggotaan RI di BRICS tak pengaruhi ekspor CPO
Jumat,togel terbaru 2022 8 November 2024 19:50 WIB
Badung, Bali (ANTARA) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan, rencana masuknya Indonesia sebagai bagian dari aliansi BRICS sama sekali tidak memengaruhi kuantitas ekspor minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO) yang dihasilkan industri domestik.
"Jadi saya meyakini dengan kita gabung di BRICS, tidak ada masalah dengan ekspor kita utamanya juga ke Eropa," kata Ketua Umum Gapki Eddy Martono dalam Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2024 di Bali, Jumat.
Menurut dia, kebutuhan dunia terhadap Industri kelapa sawit tak bisa tergantikan, mengingat sektor tersebut sudah menjadi bagian yang dibutuhkan masyarakat global.
Terlebih Indonesia merupakan produsen sawit terbesar, sehingga meski masuk dalam aliansi BRICS, hal ini sama sekali tak berpengaruh pada kontribusi minyak sawit pada devisa negara.
"Jadi saya meyakini di Eropa pun akan tetap membutuhkan sawit, dan contoh yang utamanya untuk industri, industri makanan," katanya.
Justru menurut dia, hal yang bakal mengganggu ekspor CPO Indonesia yakni penerapan regulasi bebas produk deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR), karena aturan tersebut belum jelas secara teknis penerapannya.
Baca juga: Sejumlah manfaat aspek finansial bila Indonesia bergabung ke BRICS
Adapun dalam acara IPOC 2024, ekonom memproyeksikan harga minyak sawit per kilogram hingga Februari atau Maret 2025 sebesar Rp17.500.
Sebelumnya Gapki menyatakan siap bersinergi dengan pemerintahan Presiden Prabowo dalam menghadapi tantangan global, agar mewujudkan industri sawit sebagai komoditas ekspor unggulan yang strategis.
Ketua Umum Gapki mengatakan Industri sawit domestik saat ini menghadapi ketidakpastian, karena potensi krisis makanan dan energi, serta hambatan perdagangan yang diberlakukan negara-negara importir, seperti peraturan bebas deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR).
Sementara itu, Eddy mengatakan produksi sawit yang stagnan dalam beberapa tahun terakhir ini, sebagai akibat dari lambatnya pelaksanaan penanaman kembali (replanting) di lahan-lahan kebun para petani sawit.
Baca juga: Masa depan ekonomi Indonesia di era BRICS